Labuan Bajo – Sengketa tanah seluas 11 hektare yang melibatkan ahli waris alm. Ibrahim Hanta terus bergulir. Konflik ini menyeret nama-nama besar, mulai dari pengusaha papan atas, notaris, hingga pejabat Badan Pertanahan Nasional (BPN). Kuasa hukum ahli waris, Irjen Pol (Purn) Drs. I Wayan Sukawinaya, M.Si., bersama Dr. (c) Indra Triantoro, S.H., M.H., dan Jon Kadis, S.H membeberkan sederet fakta mengejutkan yang terungkap dalam proses di Pengadilan Negeri Labuan Bajo.
Salah satu kejanggalan paling awal muncul dari pembuatan akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) tahun 2014 oleh Notaris Billy Yohanes Ginta, S.H., M.Kn., antara Niko Naput sebagai penjual dan Erwin Kadiman Santosa sebagai pembeli atas tanah seluas 40 hektare. Masalahnya, dalam lahan tersebut termasuk 11 hektare tanah yang saat ini disengketakan oleh ahli waris Ibrahim Hanta.
“PPJB itu dibuat dengan menggunakan surat kepemilikan tanah yang tidak sah. Bahkan sebagian tanah yang masuk dalam akta tersebut diduga milik Pemda Manggarai Barat,” ungkap Sukawinaya, Minggu, 11 Mei 2025.
Ia menambahkan, kasus seperti ini jelas berpotensi melanggar Pasal 263 dan 266 KUHP tentang pemalsuan dokumen dan keterangan palsu dalam akta otentik.
“Pasal 263 adalah induk dari segala bentuk pemalsuan surat,” tegasnya.
Masalah tak berhenti di situ. Pada tahun 2017, BPN Manggarai Barat menerbitkan tiga Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Paulus G. Naput, Yohanis V. Naput, dan Maria F. Naput, semuanya berada di atas lahan Keranga seluas 11 hektare yang masih dalam status sengketa.
“Kami sudah meminta berulang kali agar BPN menunjukkan warkah atau dokumen asli penyerahan tanah adat sebagai dasar penerbitan sertifikat. Sampai hari ini tidak pernah ditunjukkan,” tegas Indra.
BPN dinilai mengeluarkan sertifikat tanpa dasar hukum yang sah, yang diduga kuat bagian dari praktik mafia tanah.
*Tim Kejari dan BPN Temukan Salah Plot Lokasi*
Setelah ahli waris melaporkan kasus ini ke Satgas Mafia Tanah di Kejaksaan Negeri Labuan Bajo pada 8 Januari 2024, tim kejaksaan yang dipimpin Kasi Pidsus Wisnu Sanjaya, S.H., bersama BPN turun langsung ke lapangan. Pemeriksaan dilakukan dengan mencocokkan peta lokasi dengan dokumen warkah tanggal 10 Maret 1990.
Hasilnya? Lokasi dua SHM milik tergugat ternyata salah ploting.
“Tanah yang diklaim oleh tergugat justru berada di lokasi berbeda. Yang mereka klaim 11 hektare, nyatanya berada di zona merah 16 hektare yang bukan bagian dari peta lokasi milik mereka,” ujar Indra.
Kasus ini makin ramai setelah pada 22 April 2022, pengusaha Erwin Kadiman Santosa menggelar seremoni peletakan batu pertama pembangunan Hotel St. Regis di atas lahan sengketa. Acara tersebut bahkan dihadiri oleh Gubernur NTT Viktor Bungtilu Laiskodat dan Bupati Manggarai Barat Edistasius Endi.
Padahal, jauh sebelum itu, bahkan sejak tahun 2020, keluarga ahli waris telah memperingatkan pihak pembeli dan PT Mahanaim Group bahwa tanah tersebut sedang dalam sengketa hukum.
“Sudah tahu tanahnya bermasalah, tetap juga groundbreaking. Itu bukan sikap pembeli yang beritikad baik, itu beli kasus. Sama seperti cara kerja mafia tanah,” tegas Indra.
Lebih mencurigakan lagi, pada 20 Desember 2023, status SHM atas nama Maria Fatmawati Naput diubah menjadi SHGB atas nama PT Mahanaim Group. Anehnya, perubahan ini diproses oleh Ika Yunita, sekretaris pribadi Erwin Kadiman Santosa, setelah permintaan pemblokiran oleh ahli waris pada 29 September 2022.
“Ini bentuk penyalahgunaan wewenang. Kami mencurigai adanya gratifikasi atau penyimpangan prosedur yang bisa dijerat dengan UU Tipikor,” ujar Indra.
Menurutnya, tindakan ini tidak hanya melanggar hukum pertanahan, tetapi juga mengarah pada pemalsuan dokumen dan penggelapan hak.
Fakta mengejutkan lainnya, dasar pembuatan PPJB tahun 2014 ternyata menggunakan dua surat penyerahan tanah adat tertanggal 21 Oktober 1991 dan 10 Maret 1990. Masalahnya, kedua surat itu sudah dibatalkan oleh pihak ulayat pada 17 Januari 1998.
“Jadi, dasarnya sudah tidak sah sejak 1998, tapi tetap dipakai untuk membuat akta jual beli tahun 2014. Ini jelas ada itikad buruk,” kata Indra.
*Sudah Kalah Dua Kali, Tapi Masih Ngotot Kasasi: Mau Buktikan Apa Lagi?*
Meski semua bukti dan keputusan hukum mengarah pada kekalahan, pihak tergugat, yakni keluarga ahli waris Nikolaus Naput dan Erwin Kadiman Santosa masih bersikeras melakukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Padahal, mereka sudah kalah di Pengadilan Negeri Labuan Bajo dan Pengadilan Tinggi Kupang. Namun entah dengan dasar apa, mereka tetap memaksakan diri melanjutkan proses hukum.
Pertanyaannya, apa lagi yang ingin mereka buktikan? Karena sampai hari ini, mereka belum mampu menunjukkan alas hak asli, bahkan lokasi tanah yang diklaim pun tidak jelas.
“Kalau alas hak saja tidak punya, dan posisi tanah tidak bisa ditunjukkan secara akurat, lalu dasar mereka apa? Ini hanya memperpanjang penderitaan pihak korban dan membuktikan bahwa mereka ingin menang dengan cara-cara di luar jalur hukum,” tegas Indra.
Hingga berita ini terbit, media ini telah berupaya untuk mendapat keterangan dari Santosa Kadiman dan Notaris Billy Ginta namun upaya konfirmasi dari wartawan tidak pernah direspon oleh yang bersangkutan.