DETIKNET.id – Hendrikus Ara, selaku ketua Komisi Yudisial (KY) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) meminta semua pihak menghormati proses hukum mantan Pelaksana tugas (Plt) Kepala Biro Umum Setda NTT, Erik Mella, yang kini sedang bergulir di Pengadilan Negeri Kupang.
Terkait perkara ini terjadi sejak beberapa tahun silam dan cukup panjang hingga masuk ke Pengadilan.
Seperti yang diketahui apa bila perkara masuk ke ranah Pengadilan maka, rangkaian sejak awal perkara itu telah dilakukan oleh penyidik Kepolisian maupun Kejaksaan.
Dalam berbagai hal yang dilakukan itu diantaranya, visum, pemberkasan, olah tempat kejadian perkara dan berlanjut dengan pelimpahan berkas perkara maupun barang bukti dari Kepolisian ke Kejaksaan dan dari Kejaksaan ke Pengadilan.
“Kita semua harus menghormati proses hukum yang sedang dan akan berjalan di Pengadilan sampai putusan,” kata Ketua Komisi Yudisial NTT, Hendrikus Ara kepada POS-KUPANG.COM, Selasa (15/4/2025).
Sementara itu Hendrikus ikut mempertanyakan perihal penahanan Erik Mella yang tidak dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan sewaktu penyidikan. Justru itu dilakukan saat di Pengadilan.
Polisi, Kejaksaan dan Pengadilan diberi wewenang untuk melakukan penahanan pada tersangka atau terdakwa sejalan dengan aturan yang berlaku sebagaimana dalam KUHAP. Apalagi ancaman hukuman terdakwa adalah 15 tahun.
KUHAP itu memberi ruang untuk Kepolisian dan Kejaksaan melakukan penahanan dengan syarat obyektif dan subyektif.
Syarat obyektif, kata dia, adalah tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih dan kejahatan lainnya diatur secara limitatif yang diatur dalam undang-undang.
Sementara itu syarat subyektif berkaitan dengan seseorang yang dikhawatirkan melarikan diri, atau menghilangkan barang bukti dan mengulangi perbuatannya.
“Kalau Polisi dan Jaksa tidak menahan, tanyakan pada Jaksa dan Polisi kenapa tidak menahannya. Bahwa secara obyektif ada, soal subyektif juga kan mereka yang merasakan,” kata dia.
Penahanan yang dilakukan oleh Pengadilan, menurut Hendrikus, juga diatur dalam KUHAP.
Pada KUHAP pasal 21 mengatur seorang Hakim di Pengadilan boleh melakukan penahanan terdakwa untuk kepentingan pemeriksaan di Pengadilan
Dalam KUHAP seperti di Pasal 20 ayat 3 juga memberikan wewenang ke Hakim untuk melakukan penahanan, termasuk dengan syarat obyektif dan subyektif.
“Karena ada kewenangan dan undang-undang membolehkan berarti tidak ada masalah. Soal nilai rasa itu kan kembali ke pribadi masing-masing. Hakim pasti punya pertimbangan kenapa dia melakukan penahanan,” ujarnya.
Sehingga, polemik ihwal pertanyaan kenapa tidak dilakukan penahanan di Kepolisian dan Kejaksaan, Hendrikus mengimbau agar tidak lagi dipermasalahkan.
Sebab, dalam aturan memberi ruang untuk Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan untuk melakukan penahanan terhadap seorang tersangka atau terdakwa.
“Kita hormati proses persidangan di Pengadilan. Semua para pihak, terdakwa dengan pihak penuntut umum ya silahkan bertarung di Pengadilan membuktikan disana,” kata Hendrikus.
khusus ke Hakim KY meminta yang mengadili perkara itu agar harus memegang teguh pada fakta persidangan dan keyakinan Hakim. Hal itu merupakan langkah profesional seorang Hakim.
“Kenapa Pengadilan melakukan penahanan, pertama karena dia punya kewenangan dan undang-undang membolehkan. (Sebetulnya tiga pihak, Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan) boleh melakukan penahanan. Tetapi kenapa tidak dilakukan kembali ke masing-masing institusi, tapi ada kewenangan tentu ada dasar pertimbangan,” ujarnya.
Kegaduhan mengenai penahanan harusnya disudahi. Mestinya konsentrasi saat ini ada di proses persidangan.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) harus membuktikan tuntutannya. Sebaliknya, kuasa hukum terdakwa bisa membendung dakwaan JPU dengan penasaran yang kuat.
Sedangkan Hakim, kata dia, harus menggali lebih dalam perkara itu. Tujuannya perkara itu bisa lebih terang dan keputusan Hakim berdasarkan fakta persidangan.
BAP yang dilakukan, menurut dia dilakukan sebagai acuan. Keterangan yang digunakan dalam memutus suatu perkara oleh Hakim adalah keterangan dalam persidangan. JPU dan Kuasa hukum terdakwa harus memberikan bukti kuat.
“Keyakinan Hakim harus didasarkan pada fakta persidangan, dan ilmu pengetahuannya. Harusnya kombain antara ilmu pengetahuan dan fakta persidangan,” kata Hendrikus.