DETIKNET.id – Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) mencatat sepanjang tahun 2025, sebanyak 241 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak saat ini di Provinsi NTT.
Data ini diungkap Kepala DP3AP2KB NTT, Ruth Laiskodat saat menjadi pemateri dalam Seminar Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi pada Era Digital yang diselenggarakan BEM UKAW di aula UKAW Kupang, Senin (23/6).
Tertulis kasus tersebut, korban perempuan mendominasi dengan jumlah 157 orang, sementara 19 korban merupakan laki-laki.
“Kasus ini terjadi di berbagai tempat, mulai dari rumah tangga, sekolah, tempat kerja, fasilitas umum, lembaga pendidikan kilat dan lainnya,” beber Ruth.
Mencatat korban berdasarkan kelompok usia. Korban paling banyak dialami kelompok usia 13-17 tahun. Di urutan kedua, kelompok usia 6-12. Sedangkan usia 18-24 di posisi ketiga. Bahkan usia 60 keatas juga masih mengalami kekerasan terbanyak disusul usia 25-44 tahun dan paling sedikit kontribusi yakni kelompok usia 45-59 tahun.
“Semua umur tidak aman. Kami pernah menangani kasus yang sangat berat karena melibatkan anak kecil sebagai korban, bahkan pelakunya merupakan eks Kapolres di Ngada. Dalam kasus seperti ini, proses pemeriksaan (BAP) sangat sulit karena usia korban masih dini,” jelasnya.
Diketahui dari 241 kasus tersebut terjadi pada periode Januari 45 kasus, Februari 51 kasus, Maret 43 kasus, April 45 kasus dan pada bulan Mei 57 kasus. “Ini semacam fenomena gunung es.
Jadi bagi korban atau masyarakat yang mengalami atau mengetahui adanya aksi kekerasan laporkan ke UPTD PPA di kabupaten/kota masing-masing untuk ditindak. Jangan takut atau malu melapor. Jadilah pahlawan bagi semua korban kekerasan,” katanya.
Dijelaskan bahwa kekerasan adalah penggunaan kekuatan fisik atau non-fisik secara tidak sah yang menimbulkan bahaya atau kerugian bagi orang lain, baik secara fisik maupun psikologis.
Sedangkan kejahatan dunia maya adalah segala bentuk aktivitas ilegal atau merugikan yang dilakukan menggunakan teknologi digital atau internet sebagai media utama. Kejahatan ini bisa menargetkan individu, organisasi, bahkan negara termasuk perempuan dan anak.
“Bentuk-bentuk kekerasan seperti kekerasan fisik, psikis, ekonomi, seksual, sosial budaya, penelantaran rumah tangga. Sedangkan kalau kekerasan seksual meliputi fisik dan non-fisik,” jelasnya.
Sementara itu mantan Kadis Kesehatan NTT itu juga membeberkan jenis-jenis kekerasan seksual dunia maya yang terjadi pada perempuan dan anak seperti cyber bullying (perundungan siber), pencurian identitas (identity theft), phishing, hacking, pornografi baik perempuan dan anak dan eksploitasi seksual daring. Penipuan online (online scam) dan doxing.
Ia menjelaskan, khusus 57 kasus pada bulan Mei dialami 15 anak laki-laki, anak perempuan 26 kasus dan dewasa 16 kasus.
Menurut Ruth, sepanjang 2024, total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang ditangani pihaknya mencapai 398 kasus, dengan rata-rata 33 kasus per bulan. Namun, memasuki tahun 2025, tren kasus meningkat. “Hingga Mei 2025, rata-rata kasus mencapai 48 per bulan, bahkan pada Mei saja ada 57 laporan baru,” ungkapnya.
Adapun pelaku kekerasan berasal dari berbagai latar belakang profesi, mulai dari pendeta dua pelaku, aparatur sipil negara (ASN) 15 korban dan 17 pelaku, ojek 12 pelaku, buruh 10 pelaku, honorer 13 korban dan tujuh pelaku, pedagang lima pelaku, polisi sembilan pelaku, guru lima korban dan sembilan pelaku. TNI 10 pelaku.
Jumlah korban terbanyak disumbangkan oleh pelajar sebanyak 126 korban dengan 14 pelaku, nelayan 15 pelaku, sopir tiga pelaku, dosen tiga korban dan tiga pelaku, petani lima korban dan 25 pelaku, ibu rumah tangga 64 korban dan 22 pelaku, wiraswasta 95 korban dan 94 pelaku, tidak bekerja 57 korban dan 60 pelaku, lainnya 15 korban dan tidak diketahui sebanyak 18 pelaku.
“Jenis kekerasan yang paling dominan adalah tindak pidana pemerkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT),” cetusnya.
Sebagai bentuk pencegahan yang harus dilakukan yakni peningkatan upaya pencegahan kekerasan lewat komunikasi, informasi, edukasi dan sosialisasi yang lebih masif tentang pencegahan kekerasan. Sosialisasi tentang UU Nomor 12/2022 tentang TPKS dan peraturan turunannya agar masyarakat memahami TPKS dan ancaman hukumannya supaya tidak melakukan TPKS.
“Bekerja bersama-sama dengan pemerintah atau satgas PPKS di kampus dalam hal ini membentuk hubungan dan perilaku yang sportif antara teman dan keluarga, berdiri bersama korban dan percaya terhadap mereka serta bicarakan ketika mendengar komentar-komentar yang berbahaya/menyakiti atau menyaksikan kejadian kekerasan seksual,” ujarnya.
Hal lainnya seperti menciptakan peraturan di tempat kerja atau dalam sistem sekolah/kampus untuk menghentikan kekerasan seksual dam membantu korban (satgas PPKS sebagai implementasi Permenristekdikti tentang Kekerasan Seksual), mengkoordinasikan kegiatan bersama komunitas untuk meningkatkan kesadaran tentang bagaimana cara untuk berpartisipasi untuk mencegah kekerasan seksual.
Advokasi terhadap perwakilan rakyat dan meminta mereka untuk mendukung pencegahan kekerasan seksual dan penanganan terhadap korban. Meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender dan kualitas keluarga untuk mencegah kekerasan seksual.
“Jangan biarkan kekerasan menjadi kebiasaan yang ditoleransi. Masa baru pacaran saja sudah melakukan kekerasan, bagaimana kalau menikah,” tandasnya.
Liven Rafael, Kepo Hukum UKAW Kupang pada kesempatan tersebut juga membagi pengalamannya dalam penanganan kasus-kasus kekerasan di Kota Kupang dan NTT pada umumnya.
Ia mengharapkan pada mahasiswa agar tahu menempatkan diri dalam menghadapi era digital saat ini karena jika tidak dimanfaatkan secara baik maka bisa berdampak pada hal yang negatif bahkan berujung penjara.
“Jangan masih pacaran jadi mau buat kenang-kenangan dengan foto bugil. Karena belum tentu jodoh. Kalau sudah putus, video atau foto mulai tersebar,” katanya.
“Kalau dulu ada pepatah bahwa mulutmu harimau mu. Kalau sekarang tidak hanya mulut tapi tangan dan kaki juga bisa menjadi harimau. Untuk itu bijak dalam bermedsos agar tidak terjerat hukum akibat kekerasan yang dilakukan melalui medsos,” pungkasnya.
Ketua BEM UKAW Kupang, Jefri Bunga dalam kesempatan tersebut menjelaskan bahwa pihaknya mengadakan kegiatan seminar dengan tujuan untuk mencegah tindakan kekerasan seksual yang terjadi di wilayah NTT khususnya di lingkungan kampus.
Disebutkan bahwa data yang menunjukkan, kekerasan seksual ibarat gunung es sehingga melalui kesempatan ini pihaknya mengajak seluruh elemen agar bersama-sama menempatkan kasus ini sebagai musuh bersama, apalagi di lembaga pendidikan.
“Kami mengundang semua kampus, BEM, OKP dan cipayung agar mereka bisa menjadi pelopor menyebarluaskan hal ini kepada seluruh masyarakat NTT,” pungkasnya.
Seminar diakhiri dengan deklarasi bersama dan menyatakan komitmen untuk memperkuat kemitraan, menjalin kolaborasi erat dengan seluruh elemen kampus dan masyarakat, untuk bersama-sama mewujudkan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.