DETIKNET.id – Komunitas MENDI Project resmi dideklarasikan dalam sebuah diskusi publik yang berlangsung di Coffe Mozza dan Galeri Desa, Penfui Timur, Kabupaten Kupang.
Mengusung tema “Implikasi Politik Primordial terhadap Pembangunan di Manggarai Raya”, acara ini menandai langkah awal MENDI Project untuk memperkenalkan visi perjuangannya, terutama di kalangan pemuda.
Kegiatan yang dihadiri oleh 35 peserta dari berbagai organisasi kepemudaan di Manggarai Raya ini dimulai dengan sesi diskusi yang dipandu oleh moderator Klarita Moren.
Diskusi menghadirkan narasumber utama Ernestus Holivil, S.Fil., MPA, dosen Administrasi Negara Universitas Nusa Cendana (Undana), yang dikenal aktif mengkaji isu sosial-politik dan kebijakan publik.
Sebelum memulai sesi tanya jawab, Klarita Moren membuka diskusi dengan menjelaskan konsep politik primordial.
Menurut Klarita, politik primordial terjadi ketika dukungan politik didasarkan pada kesamaan identitas seperti suku, agama, ras, dan golongan, bukan pada rekam jejak atau kebijakan calon pemimpin.
Ia mengutip Edward Shils, sosiolog yang menyatakan bahwa primordialisme adalah keterikatan mendalam pada kelompok sosial, yang sering menjadi faktor dominan dalam interaksi politik.
Klarita menyoroti bahwa politik primordial dapat mengarah pada kebijakan yang bias identitas, yang berpotensi menciptakan ketimpangan sosial, terutama di Manggarai Raya.
“Desentralisasi yang seharusnya membuka partisipasi masyarakat secara luas, justru memperkuat pola dinasti politik,” ujar Klarita.
Ernestus Holivil dalam pemaparannya menekankan bahwa politik primordial tidak bisa dipisahkan dari dinamika kekuasaan.
Ia menjelaskan bahwa identitas budaya dan agama adalah konstruksi sosial yang bisa dimanfaatkan sebagai alat mobilisasi massa, seperti yang diungkapkan Benedict Anderson.
Ia mencontohkan bagaimana dalam kontestasi politik di Manggarai, calon pemimpin seringkali lebih mengutamakan identitas budaya daripada visi dan misi.
Ernestus juga menyoroti bahwa politik identitas ini berdampak negatif pada kualitas demokrasi.
“Seringkali masyarakat memilih calon berdasarkan suku atau kedekatan historis, bukan karena kompetensi atau kapasitas calon,” katanya.
Dampaknya, kebijakan yang dibuat cenderung diskriminatif dan tidak inklusif, merugikan kelompok lain.
Ernestus juga mengingatkan bahwa meskipun identitas primordial sering kali digunakan untuk memobilisasi massa, identitas juga bisa menjadi alat perlawanan terhadap ketidakadilan.
Ia memberikan contoh penolakan kebijakan geothermal di Manggarai yang digerakkan oleh kelompok masyarakat berbasis budaya.
Namun, ia mengingatkan agar identitas tidak dijadikan alat untuk melanggengkan politik sektarian dan ketidakadilan struktural.
Salah satu peserta, Elfid Dasmadi, mengungkapkan bahwa politik primordial sering kali mendegradasi rasionalitas dalam pemilihan pemimpin.
“Masyarakat lebih memaknai pemilihan sebagai soal keterwakilan kelompok, bukan kapabilitas dan visi,” kata Elfid.
Acara puncak ditandai dengan deklarasi resmi komunitas MENDI Project. Dalam sambutannya, pendiri MENDI Project, Enji, menjelaskan bahwa “Mendi” dalam bahasa Manggarai berarti hamba, yang merujuk pada kelompok sosial rendah yang melayani elit.
“MENDI Project hadir sebagai ruang alternatif bagi kaum tertindas. Kami ingin mahasiswa lebih peka terhadap isu-isu masyarakat dan terlibat dalam gerakan sosial,” ujar Enji.
Enji menegaskan bahwa MENDI Project bertujuan membangun kesadaran kritis di kalangan mahasiswa, meningkatkan budaya literasi, dan membuka ruang advokasi melalui media sosial.
“MENDI Project bukan hanya komunitas, tapi juga ruang edukasi, konsolidasi, dan perlawanan terhadap ketidakadilan,” tutup Enji.