Oleh: Firman Jaya/ Pemimpin Redaksi DetikNet.id
Rencana demonstrasi oleh mahasiswa seringkali menjadi dinamika yang lazim dalam kehidupan demokrasi. Namun, di balik setiap aksi yang akan digelar, ada upaya senyap namun strategis yang dilakukan oleh aparat keamanan, terutama unsur Polri dan TNI. Salah satu kemampuan yang patut diapresiasi adalah keahlian mereka dalam melakukan penggalangan, sebuah metode pendekatan sosial yang bertujuan mencegah eskalasi, meredam potensi konflik, dan tetap menjaga ruang demokrasi.
Dalam beberapa kasus terbaru di sejumlah daerah, kemampuan aparat dalam membaca situasi dan membangun komunikasi dengan kelompok mahasiswa terbukti mampu mengubah rencana aksi turun ke jalan menjadi bentuk kegiatan yang lebih reflektif dan damai. Hal ini memperlihatkan bahwa penggalangan bukan sekadar kerja intelejen, tetapi juga seni membangun kepercayaan dan komunikasi yang efektif.
Misalnya, ketika isu nasional menghangat akibat kematian seorang warga sipil dalam penanganan aksi di Jakarta, gelombang solidaritas mulai bergema di berbagai kota. Sejumlah kelompok mahasiswa di daerah mulai menyusun rencana demonstrasi, termasuk di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Namun berkat pendekatan cepat dan tepat yang dilakukan oleh Polres Manggarai, Kodim 1612/Manggarai, serta dukungan dari Pemerintah Daerah, rencana aksi itu bertransformasi menjadi refleksi damai dengan menyalakan 1.000 lilin di Natas Labar, Motang Rua, pada 30 Agustus 2025 (Florespos.net, 2025).
Peran aparat dalam hal ini bukan dalam kapasitas menekan atau membatasi hak berekspresi, melainkan mendorong dialog agar aspirasi tetap tersampaikan tanpa harus memicu potensi ketegangan di lapangan. Penggalangan dilakukan secara santun bukan hanya kepada pimpinan kelompok mahasiswa, tetapi juga kepada tokoh masyarakat, dosen, dan orang tua mahasiswa. Langkah ini mencerminkan pendekatan preventif yang efektif dalam menjaga kondusivitas wilayah.
Dalam tradisi kepolisian dan militer, penggalangan sosial adalah salah satu metode non-kekerasan yang bertujuan menciptakan stabilitas melalui komunikasi, pendekatan personal, dan pemetaan sosial. Ini bukan teknik represif, melainkan strategi kolaboratif. Ketika dilakukan dengan tulus, penggalangan justru menjadi ruang untuk membangun kedekatan antara aparat dan masyarakat, termasuk kalangan muda seperti mahasiswa.
Keberhasilan aparat keamanan dalam mencegah potensi konflik sosial juga menunjukkan pentingnya kerja intelijen yang terukur dan etis. Bukan untuk membungkam, tapi untuk mengarahkan energi massa ke bentuk ekspresi yang tetap bermakna dan tidak merugikan kepentingan publik. Keamanan yang lahir dari dialog dan kepercayaan selalu lebih kuat dibandingkan keamanan yang dibangun dari ketakutan.
Pola-pola seperti ini sepatutnya menjadi acuan di daerah lain. Ketika aparat mampu memahami situasi sosial dan mengambil langkah proaktif berbasis penggalangan, maka demokrasi bisa tumbuh dengan sehat tanpa kehilangan unsur kedamaian. Jagonya polisi dan TNI bukan hanya soal taktik lapangan, tapi juga soal membaca suasana hati masyarakat, dan mengubah potensi ancaman menjadi momen reflektif bersama.
Penulis: Firman Jaya