Scroll untuk baca artikel
EKONOMI

Bea Cukai Hindari Strategi “Cipta Kondisi” dalam Penindakan Rokok Ilegal di NTT

×

Bea Cukai Hindari Strategi “Cipta Kondisi” dalam Penindakan Rokok Ilegal di NTT

Sebarkan artikel ini
Firman Jaya (Dokumen Pribadi)

Oleh: Firman Jaya – Pimpinan Redaksi DetikNet.id

‎Saya tahu sobat intel dan penggemar data penting,mungkin senyum‑senyum kecil membaca ini. He…hee… Kata “cipta kondisi” (sering disingkat “cikon”) memang punya aroma khas di dunia penegakan. Penuh rahasia, penuh sinyal, kadang penuh “kejutan” di‑publikasi. Teman‑teman di lingkungan bea cukai pasti paham nuansanya. Teman‑teman buser di kepolisian juga tahu bahwa “cipkon” sering jadi kata rahasia yang tertawa sendiri. (Semoga yang saya tulis ini tak bikin ngopi jadi tertunda ya.)

‎Tapi mari kita turunkan sedikit gaya guyon‑ringan dan masuk ke pokok bahasan yang serius. Bagaimana penindakan rokok ilegal oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) khususnya di wilayah seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) bisa terjebak dalam strategi cipta kondisi, dan mengapa ini perlu diperhatikan dengan seksama.

Fakta & Strategi yang Terlihat

‎DJBC telah mempublikasikan sejumlah capaian penindakan yang cukup impresif:

‎Hingga Juni 2025, tercatat 13.248 penindakan barang ilegal senilai sekitar Rp 3,9 triliun, serta 61 % dari barang tersebut berupa rokok ilegal.

‎Dalam operasi yang disebut Operasi Gurita 2025 (28 April – 30 Juni 2025), sebanyak 3.918 penindakan dilakukan dengan hasil 182,74 juta batang rokok ilegal.

‎Strategi yang diumumkan mencakup: pengawasan dari hulu hingga hilir (pabrik, distribusi, kanal daring), penggunaan intelijen dan data, serta pendekatan sosio‑kultural melalui masyarakat dan tokoh agama.

‎Langkah‑langkah ini jelas positif artinya, peredaran rokok ilegal dianggap sebagai persoalan sistemik, bukan hanya masalah warung kecil ataupun pasar gelap. Namun, pertanyaan serius muncul, Apakah operasi tersebut dilaksanakan secara kontinu dan terukur, atau malah sebagian diatur untuk muncul secara spektakuler dalam waktu tertentu?

Tanda‑Tanda Potensi “Menunggu Momentum” atau “Setting”

‎Ada beberapa indikator yang layak dipertanyakan dalam konteks penindakan rokok ilegal, terutama jika kita berharap pengawasan tidak sekadar “acara besar”.

Kemunculan operasi besar menjelang publikasi

‎Operasi besar seperti “Operasi Gurita” muncul dengan angka spektakuler dan publikasi yang luas. Tetapi publikasi semacam ini bisa membentuk kesan “aksi besar saat momentum” bukan pengawasan harian yang tak terlihat. Misalnya, DJBC menegaskan bahwa “pengawasan tidak hanya berhenti pada tahap penindakan, tetapi juga penyidikan, pengenaan sanksi administratif, serta ultimum remidium”.  Namun, data rinci mengenai frekuensi operasi rutin setiap hari atau tiap minggu tidak selalu mudah diakses publik yang menimbulkan ruang bagi persepsi bahwa sebagian kegiatan “dipilih waktu‑nya”.

‎Risiko “setting” menjadi tampak ada penindakan

‎Saat operasi diliput media, sering muncul gambar‑gambar besar, tumpukan rokok ilegal disita, petugas berdiri di depan mobil pikap yang disita. Visualnya bagus, narasinya kuat. Namun, kalau hanya operasi besar yang dikeluarkan ke publik sedangkan operasi kecil yang rutin tak banyak diketahui, maka ada potensi bahwa penindakan pun “dipilih” agar media meliput alih‑alih sebagai bagian dari mekanisme pengawasan harian yang konsisten. Publik bisa mempunyai kesan “tunggu viral dulu baru ada tindakan”.

Efek jera vs pencitraan

‎Dalam siaran pers, DJBC menyatakan bahwa penindakan tidak cukup hanya menciptakan efek jera tapi harus berdampak nyata terhadap penerimaan negara dan perilaku pelaku usaha.
‎Namun, apabila penindakan besar hanya muncul sesekali sementara peredaran ilegal masih berjalan relatif lancar di banyak area, maka operasi besar bisa lebih berfungsi sebagai “tombol alarm” sesaat bertujuan agar publik melihat bahwa “bea cukai beraksi” daripada sebagai bagian dari sistem pengawasan yang terus‑menerus.

Implikasi untuk Publik dan Industri di NTT

‎Strategi seperti ini (kalau memang terjadi) memiliki dampak yang perlu kita pahami, terutama di daerah seperti NTT.

‎Ketidakpastian penegakan hukum
‎Bila penindakan hanya dilakukan ketika momentum besar, maka pelaku ilegal bisa mempelajari kapan dan di mana pengawasan jarang dilakukan. Ini mengurangi efek jera.

‎Keadilan bagi industri legal
‎Industri tembakau yang mematuhi aturan berada dalam posisi dirugikan ketika rokok ilegal terus beredar tanpa pengawasan konsisten. Mereka membutuhkan pengawasan yang aktif dan rutin, bukan hanya “show‑case” sesaat.

‎Keterlibatan masyarakat minimal
‎Bila masyarakat di NTT hanya melihat hasil operasi besar tanpa mendapat edukasi atau akses data tentang pengawasan rutin dan mekanisme pelaporan, maka kesadaran kolektif sulit terbentuk. Padahal pengawasan terhadap rokok ilegal juga butuh partisipasi masyarakat.

‎Risiko reputasi lembaga
‎Apabila muncul persepsi bahwa penindakan hanya “untuk dilihat publik” dan bukan untuk efek berkelanjutan, maka kredibilitas DJBC bisa menurun. Masyarakat bisa mulai bertanya, apakah ini aksi nyata atau cuma “foto bagus” untuk media?

Rekomendasi Agar Penindakan Menjadi Lebih Bermakna

‎Untuk mencegah strategi “cipta kondisi” yang hanya berfungsi sebagai tampilan pencitraan, berikut beberapa rekomendasi yang bisa diterapkan khususnya relevan untuk wilayah NTT.

‎1. Publikasikan data rutin dan transparan
‎DJBC sebaiknya mempublikasikan tidak hanya operasi besar, tetapi juga operasi harian/pekanan di tingkat lokal (misalnya pasar tradisional, ritel, ekspedisi) termasuk lokasi, barang bukti, nilai, dan sanksi yang dikenakan.

‎2. Libatkan masyarakat dalam pelaporan
‎Buat mekanisme pelaporan yang mudah (misalnya hotline lokal, aplikasi, kerjasama dengan kelompok masyarakat) agar masyarakat di NTT bisa aktif melaporkan dugaan rokok ilegal bukan hanya menjadi penonton.

‎3. Transparansi mengenai sanksi dan hasilnya
‎Publik perlu tahu: berapa banyak sanksi administratif yang dijatuhkan, berapa jumlah penyidikan yang ditindaklanjuti, berapa potensi cukai yang berhasil diselamatkan. Ini penting agar penindakan bukan hanya tentang “foto tumpukan rokok”.

‎4. Audit independen dan evaluasi dampak
‎Perlu ada evaluasi oleh pihak independen (misalnya akademisi lokal, LSM) untuk memeriksa apakah operasi‑besar berdampak pada penurunan rokok ilegal secara nyata di wilayah seperti NTT.

‎5. Fokus ke hulu dan distribusi
‎Penindakan tidak cukup di titik ritel; perlu menyusuri produksi ilegal, jalur logistik, kanal daring. Karena banyak kasus rokok ilegal di antar wilayah yang “tersembunyi”. Studi menunjukkan bahwa DJBC sudah mulai menggunakan pendekatan hulu‑hilir melalui Operasi Gurita.

‎Penindakan rokok ilegal oleh Bea Cukai adalah bagian penting dalam menjaga penerimaan negara, keadilan bagi pelaku usaha legal, dan perlindungan untuk konsumen. Namun, jika strategi ini hanya muncul sebagai aksi spektakuler yang “ditunggu momentum‑nya” atau sebagai “tampilan pencitraan”, maka efektivitasnya dalam jangka panjang patut dipertanyakan.

‎Di NTT , dengan karakter geografis dan tantangan distribusi yang unik sangat penting agar sistem pengawasan benar‑benar berjalan secara kontinu, bukan hanya tampil di momen tertentu. Dengan keterlibatan aktif masyarakat, transparansi lembaga yang lebih besar, serta komitmen jangka panjang, penindakan rokok ilegal tak hanya akan jadi headline sesaat, tetapi bagian dari sistem pengawasan yang memberi manfaat nyata.

‎Jadi, teman‑teman, sambil ngopi santai (tanpa rokok ilegal ya… he…hee…), mari kita dukung agar penegakan ini bukan hanya “foto bagus”, tapi kerja nyata hari ke hari.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *