DETIKNET.id – Belakangan ini, jumlah kasus HIV/AIDS di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), terus mengalami peningkatan.
Berdasarkan data terbaru, terdapat penambahan 26 kasus baru HIV/AIDS dari Januari hingga awal Oktober 2025.
Total kasus HIV/AIDS di Lembata saat ini mencapai 354 kasus, dengan 229 orang di antaranya sedang menjalani terapi Anti Retroviral (ARV). Selain itu, sebanyak 59 orang telah meninggal dunia, 43 orang hilang kabar, dan 8 lainnya dalam perawatan.
Penata Kelola Layanan HIV/AIDS Dinkes Kabupaten Lembata, Darius Baki Akamaking, mengungkapkan bahwa peningkatan kasus HIV/AIDS di Lembata disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk pergaulan bebas dan hubungan seks tidak aman.
“Upaya penanggulangan yang dilakukan berbagai pihak masih belum sebanding dengan laju penularan HIV/AIDS,” ungkap Darius.
Dinas Kesehatan Kabupaten Lembata mengimbau masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan kewaspadaan terhadap penyakit ini dengan melakukan tes kesehatan secara rutin dan menerapkan perilaku hidup sehat.
Kasus baru ini mencakup berbagai kelompok usia, termasuk anak-anak dan lanjut usia (lansia).
Kepala Dinas Kesehatan Lembata, Goerillya A. Huar Noning, melalui Penatakelola Layanan Kesehatan Orang dengan Risiko Terinfeksi HIV, Darius Baki Akamaking, mengatakan kelompok usia produktif masih mendominasi kasus baru tahun ini.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Lembata, penderita HIV/AIDS usia 0–5 tahun ada satu kasus, usia 20–24 tahun empat kasus, usia 25–30 tahun tujuh kasus, dan usia 31–64 tahun menjadi yang terbanyak dengan 13 kasus.
“Laki-laki lebih banyak, ada 16 orang, sementara perempuan 10 orang,” ujar Darius, Selasa (07/10/25).
Kondisi ini menjadi perhatian karena kelompok usia produktif dinilai berisiko tinggi menularkan virus akibat perilaku berisiko.
Menurut Darius, penularan HIV di Lembata dipicu beberapa faktor, antara lain mobilitas masyarakat yang tinggi, keberadaan pekerja migran (PMI), serta meningkatnya aktivitas pekerja seks tanpa pengawasan yang memadai.
“Masih tingginya stigma dan diskriminasi terhadap ODHIV sehingga banyak ODHIV yang tidak mau berobat lagi atau lost to follow up,” tuturnya.
Dinas Kesehatan Lembata terus melakukan skrining dan pemberian obat antiretroviral (ARV) bagi warga dengan risiko tinggi.
Namun, Darius mengakui, upaya penanganan belum optimal karena minimnya anggaran dan dukungan lintas sektor.
“Kita juga terkendala anggaran. Selama ini hanya sekitar Rp 10 juta, bahkan sampai Rp 5 juta,” ujar Darius.















