Yogyakarta, 15 Juni 2025 — Potensi energi panas bumi di Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di Pulau Flores, kembali menjadi sorotan dalam Seminar Nasional bertajuk “Energi Panas Bumi untuk NTT: Peluang dan Kendala”. Kegiatan ini digagas oleh Gerakan Aliansi Mahasiswa NTT Yogyakarta dan digelar pada Sabtu (14/6) di Indonesia Learning Center (ILC), Yogyakarta.
Seminar ini menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang — akademisi, pengamat kebijakan publik, praktisi energi, hingga perwakilan dari PLN — serta dihadiri peserta dari kalangan mahasiswa dan aktivis yang antusias membahas masa depan energi terbarukan di daerah mereka.
Flores dan Peta Ketahanan Energi Nasional
Ketua panitia, Roni Dakuya, membuka acara dengan menekankan bahwa Flores bukan hanya kaya secara geologi, tetapi juga strategis secara geopolitik. Ia menyebutkan sumber panas bumi di pulau ini sebagai “emas di perut bumi” yang harus dikelola dengan adil dan berpihak pada masyarakat adat.
“Energi ini tidak boleh hanya menjadi proyek korporasi besar. Ini soal hak rakyat dan kedaulatan energi,” ujar Roni.
Energi dan Diplomasi Global: Kearifan Lokal Jadi Kunci
Narasumber juga menyoroti bahwa isu energi tak lepas dari politik internasional. Potensi geotermal NTT bisa menjadi contoh kerja sama global berbasis nilai lokal, bukan semata-mata kepentingan investasi asing.
Potensi Besar, Tapi Masih Terlantar
Prof. Agung Harijoko, Guru Besar Geologi UGM, menjelaskan bahwa meskipun Indonesia memiliki potensi geotermal terbesar kedua di dunia, pemanfaatannya masih minim dalam bauran energi nasional.
Ia juga menekankan pentingnya pemanfaatan panas bumi untuk sektor non-listrik seperti pertanian dan pariwisata. “Kita punya kekayaan luar biasa, tinggal bagaimana kita bisa mengolahnya dengan visi jangka panjang,” kata Agung.

PLN Tegaskan Komitmen Sosial dan Lingkungan
Perwakilan PLN, Davianus H. Edy, menyampaikan bahwa proyek-proyek geotermal di NTT telah melalui kajian lingkungan dan melibatkan warga lokal sejak awal. Ia menyatakan bahwa pembangunan energi harus mengedepankan keterlibatan masyarakat.
“Energi ini bukan hanya milik negara, tapi milik rakyat. Keterlibatan mereka sejak awal menjadi prinsip utama kami,” jelasnya.
Arah Menuju Swasembada Energi Daerah
Seminar ini juga menjadi ruang konsolidasi mahasiswa dan kelompok sipil untuk mendorong kemandirian energi berbasis komunitas di NTT. Diskusi meluas ke isu distribusi keadilan energi, hak atas tanah, dan perlindungan nilai budaya.
Gerakan Aliansi Mahasiswa NTT Yogyakarta berharap hasil dari forum ini menjadi bahan pertimbangan strategis bagi pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan energi yang adil dan berkelanjutan.
“Kalau ingin kemandirian sejati, mulailah dari siapa yang pegang kendali atas energi. Ini soal siapa yang punya kuasa, siapa yang menerima manfaat, dan siapa yang menanggung risiko,” pungkas Roni.