Oleh: Firman Jaya/ Pemimpin Redaksi DetikNet.id
Sepanjang tahun 2025, Indonesia diwarnai oleh gelombang demonstrasi, kerusuhan sosial, dan aksi protes yang meluas di berbagai wilayah. Mulai dari demo Indonesia Gelap di bulan Februari, penolakan Revisi UU TNI pada Maret, hingga ledakan kemarahan massa pascainsiden tewasnya pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, pada akhir Agustus, seluruh rangkaian peristiwa ini memperlihatkan kondisi keamanan nasional yang sangat tidak kondusif.
Permasalahan yang muncul tidak semata soal maraknya aksi massa, tetapi lebih dalam menunjukkan adanya kegagalan sistemik negara dalam mendeteksi, memetakan, dan mencegah potensi konflik sejak dini. Dalam hal ini, perhatian serius perlu diarahkan pada lembaga-lembaga intelijen yang sejatinya memegang peran vital sebagai penjaga stabilitas nasional.
Intelijen: Tugas Strategis yang Terabaikan
Dalam kerangka intelijen modern, sebagaimana dijelaskan oleh Mark M. Lowenthal dalam Intelligence: From Secrets to Policy (2016), fungsi utama lembaga intelijen adalah memberikan peringatan dini (early warning) atas setiap ancaman terhadap keamanan negara. Intelijen bukan sekadar pengumpul informasi rahasia, melainkan aktor strategis yang seharusnya menjadi rujukan utama dalam pengambilan kebijakan.
Namun, yang tampak di lapangan justru sebaliknya. Dalam berbagai insiden, seperti kerusuhan di Papua, konflik agraria, dan demonstrasi besar-besaran pada 29–30 Agustus 2025, nyaris tak ada tanda bahwa sistem peringatan dini berjalan sebagaimana mestinya. Ketika massa sudah tumpah ruah ke jalan, fasilitas umum dibakar, dan bentrokan tak terhindarkan, masyarakat pun mempertanyakan di mana posisi intelijen dalam rantai pengambilan tindakan preventif.
Pertanyaan ini berdasar. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara secara tegas mengamanatkan kepada Badan Intelijen Negara (BIN) dan lembaga intelijen lainnya untuk menjalankan fungsi deteksi, analisis, dan koordinasi dalam menjaga keamanan nasional. Ketika unjuk rasa berujung chaos dan aktor-aktor di baliknya luput dari pemetaan, maka patut dipertanyakan efektivitas kerja lembaga tersebut.
Koordinasi Lemah, Informasi Tersekat
Salah satu persoalan mendasar adalah lemahnya koordinasi antar-lembaga. Menurut laporan Kompas.id (2024), beberapa aksi unjuk rasa tidak dapat diantisipasi karena kegagalan dalam mendistribusikan informasi strategis dari lembaga intelijen kepada aparat di lapangan. Jalur komunikasi yang semestinya terintegrasi justru menunjukkan fragmentasi antara lembaga pusat dan daerah.
Kerusuhan yang terjadi setelah kematian Affan Kurniawan menjadi contoh nyata. Gelombang demonstrasi dan kerusuhan pecah di sedikitnya 13 kota besar, mulai dari Jakarta, Bandung, Surabaya, Solo, Makassar, hingga Pontianak dan Medan. Gedung pemerintah, pos polisi, dan fasilitas publik menjadi sasaran amuk massa. Jika fungsi intelijen berjalan optimal, potensi letupan ini seharusnya dapat dipetakan sejak awal dan dicegah secara terukur.
Masalah Bukan Hanya BIN
Tentu saja, menjaga ketertiban bukan tugas BIN semata. Namun, intelijen memiliki posisi strategis dalam mendukung seluruh mekanisme pertahanan dan keamanan negara. Negara-negara seperti Amerika Serikat, Inggris, hingga Israel, menjadikan intelijen sebagai fondasi utama dalam penyusunan kebijakan keamanan domestik. Di Indonesia, hal ini belum terlihat berjalan maksimal.
Yang lebih sering kita lihat justru pola respons yang reaktif: aparat baru bergerak setelah situasi memburuk. Dalam konteks demokrasi yang terbuka, pendekatan seperti ini tidak cukup. Intelijen seharusnya mampu bekerja secara presisi, mengantisipasi eskalasi, dan menyampaikan informasi secara cepat dan valid kepada otoritas yang berwenang mengambil tindakan.
Reformasi: Jalan Tak Terelakkan
Melihat tren kekacauan sosial yang terjadi, reformasi menyeluruh terhadap sistem intelijen nasional adalah hal yang mendesak. International Crisis Group dalam laporannya tahun 2020 menyebut bahwa reformasi intelijen di Indonesia harus mencakup aspek koordinasi lintas-lembaga, modernisasi teknologi informasi, serta penguatan akuntabilitas dan integritas lembaga.
Langkah-langkah mendesak yang perlu ditempuh antara lain:
- Penguatan kapasitas analis dan operasional intelijen
- Modernisasi metode dan perangkat pengumpulan informasi
- Standarisasi profesionalisme, etika, dan integritas SDM intelijen
- Peningkatan transparansi strategis, agar publik memahami bahwa negara hadir melalui perangkat intelijennya
Dengan langkah-langkah ini, intelijen Indonesia bisa kembali menjalankan fungsinya secara optimal bukan hanya sebagai institusi eksklusif yang bekerja dalam senyap, tetapi sebagai instrumen vital negara yang relevan dan adaptif terhadap dinamika masyarakat.
Demokrasi Butuh Stabilitas
Dalam sistem demokrasi, stabilitas bukan hal yang mengekang, melainkan pondasi bagi keterbukaan, partisipasi, dan perlindungan hak warga negara. Bila intelijen gagal menjalankan perannya sebagai penjaga stabilitas, maka bukan hanya keamanan yang terganggu, tetapi juga kepercayaan publik terhadap negara.
Tanpa pembenahan menyeluruh, bangsa ini akan terus berada dalam bayang-bayang krisis sosial dan politik. Dan dalam kekacauan yang terus berulang, akan selalu ada aktor-aktor yang mencoba memanfaatkan kekosongan baik dari dalam negeri maupun dari luar.
Penulis: Firman Jaya