Oleh: Firman Jaya/ Pemimpin Redaksi DetikNet.id
Peredaran rokok ilegal di wilayah Manggarai Raya yang meliputi Kabupaten, Manggarai Timur, dan Manggarai Barat di Nusa Tenggara Timur kian meresahkan. Fenomena ini bukan sekadar soal produk yang tak membayar cukai, tetapi juga menunjukkan lemahnya pengawasan dan potensi keterlibatan oknum dalam jaringan distribusi yang sudah berjalan sistematis dan masif.
Data menunjukkan bahwa pada tahun 2024, peredaran rokok ilegal secara nasional diperkirakan merugikan negara hingga sekitar Rp 97,81 triliun.
Di Manggarai Raya, salah satu contoh pengungkapan: pada 27 Mei 2025, petugas di Pelabuhan Multipurpose Pelindo Wae Kelambu, Kecamatan komodo (Manggarai Barat) menggagalkan muatan rokok ilegal dari Surabaya sebanyak puluhan ribu batang, merek‑merek seperti “Trek”, “King Garet”, “Hamer”.
Warga lokal melaporkan bahwa produk rokok ilegal dengan pita cukai palsu dan harga jauh lebih murah sudah mudah ditemukan di kios‑kios pinggir jalan hingga pedalaman.
Pemerintah daerah melalui Satgas dan Bea Cukai telah melakukan sosialisasi dan penindakan, misalnya di Manggarai telah dibentuk Satgas bersama TNI‑Polri dan Bea Cukai untuk Kecamatan.
Pertanyaan Kritis
Mengapa meskipun bukti peredaran ilegal cukup banyak, jaringan besar di belakang masih tampak kebal? Mengapa aparat penegak hukum seperti Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) dan kepolisian sering hanya menyasar ritel kecil atau pengangkut, namun belum berhasil memutus tulang punggung jaringan distribusi yang lebih besar?
Peran Intelijen dan Loyalitas
Dalam kerangka pengawasan negara terhadap kejahatan ekonomi seperti rokok ilegal, institusi intelijen memiliki posisi strategis karena mereka memiliki akses data dan kemampuan analisis yang lebih luas bukan hanya sekadar menindak di lapangan.
Badan Intelijen Negara (BIN) memiliki mandat menghimpun dan menganalisis informasi strategis terkait keamanan nasional termasuk sektor ekonomi yang rentan kejahatan. Undang‑Undang No. 17/2011 tentang Intelijen Negara memberi ruang kewenangan yang cukup besar.
Intelijen Keamanan Polri (Intelkam) melalui jaringan tingkat lokal (desa/kelurahan, aparat teritorial) dapat mengetahui pola distribusi barang ilegal, pelaku lokal, dan potensi “pelindung” di tingkat bawah.
Badan Intelijen Strategis TNI (BAIS TNI) juga relevan, terutama karena jalur laut dan wilayah kepulauan yang rentan menjadi pintu masuk barang ilegal termasuk rokok ilegal dan karena distribusi lintas batas wilayah memerlukan pengawasan militer/intelijen.
Jika institusi‑institusi ini menjalankan fungsi secara optimal, maka bukan hanya rantai paling akhir (pengecer, pengangkut) yang disasar, melainkan jaringan hulu yang mendistribusikan, menyuplai, dan mendanai. Loyalitas kepada pimpinan intelijen atau institusi harusnya berarti mewujudkan efektivitas pengawasan bukan menutup mata terhadap kejahatan yang terorganisir.
Mengapa Kegagalan Ini Terjadi?
Beberapa faktor mengemuka:
1. Keterbatasan Sumber Daya dan Wilayah
Di Manggarai Raya, lembaga pengawas menyebut keterbatasan jumlah SDM dan cakupan wilayah kerja sebagai kendala utama dalam mengendalikan peredaran rokok ilegal.
2. Kurangnya Koordinasi dan Sinergi Antar‑Lembaga
Penindakan secara sporadis oleh Bea Cukai atau aparat lokal saja tidak cukup diperlukan sinergi dengan intelijen, TNI, Polri, dan pemerintah daerah untuk mengungkap jaringan secara sistematis. Sebagai contoh, DJBC telah mengumumkan pembentukan Satgas nasional untuk rokok ilegal dengan kolaborasi TNI/Polri.
3. Potensi Pembiaran atau “Lubang” Sistemic
Laporan independen menyebutkan bahwa jaringan rokok ilegal telah lama beroperasi di Manggarai Raya, dengan warga merasa bahwa aparat pengawas “tahu tapi belum bertindak secara tegas”.
4. Daya Tarik Ekonomi yang Besar
Karena rokok ilegal dijual dengan harga jauh lebih murah misalnya kios menjual rokok illegal Rp 20.000 per bungkus dibanding resmi Rp 30.000 atau lebih hal ini memunculkan permintaan yang kuat dan margin keuntungan besar bagi pelaku.
Dampak Negatif
Hilangnya penerimaan negara dari cukai, yang secara nasional mencapai angka triliunan rupiah.
Merusak industri rokok legal dan mengancam usaha sah yang taat aturan.
Meningkatkan konsumsi rokok di kalangan masyarakat karena harga yang lebih murah dengan efek kesehatan dan sosial yang negatif.
Menurunkan kepercayaan publik terhadap institusi pengawas dan penegak hukum karena kesan ketidakadilan atau “ada yang terlindungi”.
Maka bisa di simpulkan, Peredaran rokok ilegal yang makin marak di Manggarai Raya bukan hanya sekadar persoalan pengawasan biasa, melainkan menunjukkan tantangan besar bagi fungsi intelijen negara dan integritas institusi pengawas. Jika loyalitas kepada pimpinan intelijen atau aparat keamanan hanya berarti ketaatan tanpa keberanian mengungkap jaringan besar, maka fungsi negara sebagai pelindung rakyat dan penegak hukum akan tergerus.
Dengan demikian, menjaga loyalitas kepada pimpinan intelijen tidak boleh berarti membiarkan kejahatan terorganisir berjalan. Sebaliknya, loyalitas yang sesungguhnya terwujud ketika aparat dan institusi intelijen bekerja secara terbuka, terkoordinasi, dan berkelanjutan, untuk memutus rantai hulu ke hilir peredaran rokok ilegal demi keadilan fiskal, proteksi usaha sah, dan masa depan masyarakat Manggarai Raya yang lebih sehat.